Posts

Showing posts from September, 2018

Kumpulan Pesan Yang Tersirat Atau Wejangan Sunan Katong

Image
Bathara Katong yaitu salah satu leluhur Kaliwungu asal Ponorogo yang berbagi agama Islam di Kaliwungu. Di Kaliwungu, Bathara Katong lebih dikenal dengan nama Sunan Katong, sedangkan di tempat Kendal kota Bathara Katong lebih dikenal dengan nama Sunan Ampel. Sebelum dia tiba ke Kaliwungu, dia tiba ke tempat Kendal kota tepatnya di Ampel Kulon dan mempunyai padepokan Ampelgading. Setelah berbagi agama Islam di Kendal, kemudian dia tiba ke Kaliwungu (pada ketika itu belum dinamakan Kaliwungu) dan menentukan pegunungan Penjor. Menurut kisah tutur masyarakat Kaliwungu yang telah dibukukan berjudul Wali-Wali Mataram Kendal Sunan Katong dan Pakuwaja ditulis oleh Rochani bahwa perkelahian antara Sunan Katong dan Pakuwaja menjadi penyebab lahirnya nama Kaliwungu, sehingga dalam hal ini masyarakat Kaliwungu meyakini bahwa Bathara Katong merupakan sosok historis yang pernah hidup di dunia ini, namun jikalau dipahami lebih dalam wacana kisah Bathara Katong di Kaliwungu yang banyak mengandung

Kisah Kerendahan Hati Para Kiai

Image
Saya tidak absurd dengan ndalem tersebut. Pertama kali aku menginjakkan kaki di sana bersama abah saya.  "Kalau badung dijewer mawon (saja), Kiai," kata abah kepada pemilik ndalem itu ketika menitipkan aku kepadanya.  Pemilik ndalem itu ialah KH. Masbuhin Faqih, Gresik. Ia sosok kiai yang tawadhu luar biasa kepada guru-gurunya. Beliau sering kisah betapa semua yang didapatkan hari ini tak lain dan tidak bukan alasannya ialah doa dari guru-gurunya.  "Al-faqir ini orang yang bodoh, yang menciptakan pondok ini besar dan dipercaya masyarakat berkah dari keridhoan para guru," ucap Kiai Masbuhin dalam banyak sekali ceramahnya.  Banyak pelajaran yang dia ceritakan pada para santri. Mengenai masa-masa dia selama nyantri di Langitan, Tuban. Salah satunya, selama 15 tahun nyantri dia tidak berani sekali pun melewati depan ndalem-nya Kiai Abdul Hadi Zahid maupun Kiai Abdullah Faqih.  Pernah suatu ketika dia dicoba oleh Allah, ayahandanya tidak sanggup meng

Kisah Teriakan Seorang Kiai Merobohkan Tentara Belanda

Image
Suatu ketika, seseorang berjulukan Abdussalam naik kendaraan. Di depannya ada kendaraan lain yang dipakai opsir Belanda. Abdussalam pun mendahului kendaraan yang dinaiki orang Belanda itu.  Merasa dirinya superior, orang Belanda ini tersinggung sebab kendaraannya disalip kendaraan orang pribumi. Lalu beliau mengarahkan moncong senjatanya ke arah Abdussalam.  Kali ini, orang Belanda berhadapan dengan pribumi yang lain dari yang lain. Abdussalam bukannya berlari, namun malah berteriak dengan keras sehingga orang Belanda tersebut jatuh pingsan.  Berteriak dalam bahasa Arab yaitu “shaihah” yang di pengecap orang Jawa menjadi “shihah”. Maka, semenjak dikala itu orang-orang memanggil Abdussalam dengan sebutan Mbah Shihah atau Kiai Shihah. Siapakah Abdussalam? Dia yaitu salah seorang tokoh yang turut serta dalam Perang Jawa yang dipimpin Pangeran Diponegoro (1825-1830). Ada beberapa pembantu tokoh ini yang berhasil meloloskan diri dari sergapan tentara penjajah Belanda, d

Tragedi Percobaan Pembunuhan Terhadap Presiden Sukarno

Image
Belakangan, kesaksian percobaan pembunuhan terhadap Presiden Sukarno tatkala sedang khusyuk melaksanakan sholat Idul Adha 14 Mei 1962 yang melukai politisi Partai NU KH. Zainul Arifin (Ketua DPRGR) mulai bermunculan di media massa dan buku-buku sejarah. Sebelumnya, kejadian tersebut terkesan agak ditutupi. Hal ini berlangsung sebab kala itu pemerintahan Sukarno berusaha keras mencegah media massa ajaib menyoroti duduk masalah Islam radikal di Indonesia dan menganggap negeri ini mempunyai bahaya keamanan serius, sementara Indonesia sedang diambang menjadi tuan rumah perhelatan olahraga paling akbar di benua Asia, Asian Games. Akibatnya, pemberitaan percobaan pembunuhan terhadap Kepala Negara dari jarak yang begitu erat cenderung spekulatif. Detasemen Kawal Pribadi (DKP) Presiden lebih menentukan tutup mulut  mengenai hal itu. Kesaksian Mangil Martowijoyo AKBP Mangil Martowijoyo dalam autobiografinya Kesaksian ihwal Bung Karno, 1945-1967(1999: 331) sebagaimana dikutip ti