Cara Berkurban Yang Sesuai Syari’Ah (Fiqih Kurban)
Soal qurban, KH. Arifin Fanani mengingatkan biar saat hendak membeli binatang sembelihan hendaknya mengajak orang yang lebih paham dan jago mendeteksi usianya. Karena dalam fiqih, syarat binatang yang diqurbankan yaitu 1 tahun (kambing domba), 2 tahun (kambing kerikil, kambing jowo, kambing kacang, kerbau atau sapi) dan 5 tahun (onta).
Walau tidak semua bakul melaksanakan kecurangan, saat animo panen, ada sebagian dari mereka yang pembangkang memperlihatkan ragi ke gigi-gigi binatang ternaknya biar cepat rompal (putus/ terpotong) sehingga dianggap powel (berumur cukup untuk qurban). Menurutnya, rompalnya gigi binatang biar disebut memenuhi standar berqurban itu tidak cukup hanya satu gigi.
Secara fisik, Kiai Arifin tidak sanggup memperlihatkan tanda niscaya soal umur binatang qurban itu, “sulit sebab kerbau, sapi, kambing, tidak ada sertifikat sertifikat kelahirannya,” jawabnya disambut tawa santri menara.
Begitu pun, usia binatang tidak sanggup dilihat dari besar kecilnya badan binatang. Sekalipun kecil, kalau sudah powel, sah dibentuk qurban. Contoh yaitu kambing jowo. Meskipun kecil, ia sanggup jadi sudah berusia 2 tahun. Begitu pula kambing domba, walau besar tubuhnya, kadang belum mencapai syarat minimal satu tahun.
Semua permasalahan itu tolong-menolong yaitu tanggungjawab panitia qurban. Karena itulah panitia harus sembodo (tahu aturan main syariat fiqih). Misalnya di menara Kudus, saat menyembelih, panitia selalu didampingi oleh para kiai biar cara menyembelihnya sesuai aturan fiqih.
Kurang beberapa hari sebelum pelaksanaan, biasanya seorang mudlahhi (yang melaksanakan qurban) akan dihubungi panitia kalau binatang yang dipakai berqurban itu dianggap kurang memenuhi syarat atau meragukan. Kepada siapa daging qurban dibagikan pun, ada aturannya.
Kulit qurban misalnya, secara fiqih, itu dihentikan dijual dan juga dihentikan dipakai sebagai upah untuk pelaksana. Namun yang lazim terjadi yaitu saat seseorang mendapatkan kulit binatang, kebanyakan eksklusif dijual. Di menara Kudus, kulit binatang qurban diberikan kepada faqir miskin yang muslim.
Dalam syariat fiqih, orang miskin dan faqir boleh menjual kulit binatang qurban. Ini berbeda aturan dengan orang kaya muslim yang menerimanya. Walaupun menerima, orang kaya dihentikan menjual. Pasalnya, pembagian qurban bagi orang kaya itu sifatnya dliyafah (hidangan), bukan lit tamlik (kepemilikan utuh), sebagaimana orang miskin dan faqir.
Karena itulah, di Menara Kudus, panitia punya data siapa saja yang nantinya akan mendapatkan kulit qurban. Oleh panitia, mereka dikirimi surat dan diomongi, “anda sanggup serpihan kulit kambing, anda ambil, anda rawat sendiri atau mau dijual? Kalau mau dijual, akan dijual sendiri atau diwakilkan panitia,” demikian kurang lebih.
Namun, kata Kiai Arifin, rata-rata dari mereka menentukan diwakilkan penjualannya kepada panitia sebab kalau dijual sendiri harga akan dibanting tengkulak. Ada yang menakuti mereka, “kalau kau tidak jual ke saya, besok sore sudah busuk kulitnya,” risikonya harga dibentuk semurah mungkin sebab kuatir tidak laris sehabis membusuk.
Di sinilah pentingnya panitia memperlihatkan petunjuk kepada yang akan mendapatkan kulit qurban. Sayangnya, masih ada saja sebagian orang yang menyebut kalau kulit binatang qurban yang dikelola oleh Menara Kudus dijual panitia, “padahal panitia mewakili yang berhak mendapatkan kulit binatang qurban. Mereka tidak bertanya tapi sudah menyimpulkan,” imbuh Kiai Arifin.
Soal qurban nadzar, dagingnya dihentikan diberikan kepada muslim yang aghniya’ (kaya). Pelunasan segala amal sedekah wajib semacam nadzar dan dam (dalam haji) harus diberikan kepada fuqoro’, dihentikan dibagikan kepada orang kaya.
“Jika mengingatkan, acapkali dianggap melawan arus sebab orang yang tahu fiqih tidak lebih banyak dari yang tidak tahu,” tandas Kiai Arifin mengenai orang kaya yang mau mendapatkan daging dam wajib itu.
Aturan fiqih juga menyebutkan kalau keluarga orang yang nadzar beserta orang-orang yang ditanggung nafaqoh olehnya, dihentikan ikut mengonsumsi daging nadzar tersebut.
Untuk aqiqah, ada kesunnahan membagikan daging dalam keadaan matang (dimasak) serta manis masakannya. Tapi tetap sah kalau daging aqiqah yang dibagikan itu mentah semua.
Dinamika Qurban
Kasus terjadi, sebuah kumpulan keluarga mengadakan santunan dengan tujuan qurban. Mereka menabung setiap bulan, kalau sudah mencukupi, dananya dipakai untuk membeli binatang qurban. Tabungan itu sifatnya individu. Artinya, tiap orang menabung hanya untuk dirinya sendiri, bukan berkelompok. Tiap anggota dipastikan kebagian jatah berkurban kalau tabungannya cukup.
Kiai Arifin mengatakan, cara qurban di atas bukan serpihan dari nadzar. Qurban berubah wajib jadi nadzar kalau diucapkan dengan lafadl (perkataan). Niat saja tidak cukup disebut nadzar sebab belum ada bukti ikrar secara lisan. Dalam menyatakan nadzar, orang tidak harus memakai kata nadzar atau saya bernadzar, “yang penting di sana ada kalimat iltizam ala Allah, menyanggupi atas nama Allah, sanggup disebut nadzar,” jelasnya.
Contoh nadzar contohnya menyampaikan falillahi alayya an atashoddaqo/ saya niat sedekah wajib sebab Allah, atau falillahi alayya an usholliya/ sebab Allah saya wajibkan diri untuk sholat. Pada dua susunan kalimat tersebut tidak disebut kata nadzar, tapi sah dibentuk sebagai nadzar.
Ini berbeda dengan perkara perkataan “ini kambingku” untuk menjawab pertanyaan orang lain “ini kambing untuk apa”. Bentuk kalimat tersebut masih diperdebatkan masuk jenis nadzar atau tidak. Ada yang menyebutnya ja’lu (pernyataan kepemilikan individu), ada juga yang menyebutnya nadzar. Keterangan itu sanggup dilihat dalam Kitab al-Bajuri, I’anatuth Thalibin maupun Bughyatul Musytarsyidin. Menurut Ain Syin (Ali Syibromalisi), itu bukan termasuk nadzar. Sebab itu kalimat lumrah yang biasa terjadi di masyarakat.
Jika Anda dari pasar membawa kambing, kemudian ditanya orang di tengah jalan, “itu kambing untuk apa kang?”, kalau Anda jawab kalau binatang itu “untuk qurban sunnah”, maka Anda selamat dari perdebatan ulama. Sebab ada ulama yang menyampaikan kalau hanya menjawab “untuk qurban”, ada ulama yang menyebut sudah jadi nadzar Qurban.
“Yang paling selamat lagi kalau ada orang yang bertanya kambing itu untuk apa? Lalu dijawab; pengen tahu aja atau pengen tahu banget? Itu selamat dari khilaf,” Santri menara tertawa mendengar klarifikasi Kiai Arifin.
Sah juga contohnya ada 7 orang setuju bergantian mendapatkan jatah binatang qurban setiap tahun walau uang yang dipakai untuk membeli binatang tersebut yaitu gabungan dari puluhan orang, “itu sah sebab sudah menjadi milik kita, sama ibarat arisan,” jawab kiai Arifin.
Lalu bagaimana kalau satu binatang qurban dipakai untuk kepentingan beragam. “Itu tidak apa-apa,” jawab Kiai Arifin, “tapi semuanya harus diberikan kepada muslim,” lanjutnya.
Terjadi problem kalau ada yang qurban nadzar dan qurban sunnah dalam perkara pencampuran niat di atas. Misalnya, si A berniat melaksanakan qurban sunnah, si B untuk qurban nadzar, si C melaksanakan aqiqah sunnah, si D berniat aqiqah nadzar, sementara si D hanya ingin mayoran dan seterusnya, maka untuk mempermudah distribusi daging qurban, caranya harus ada pembagian sepertujuh per niat masing-masing.
Bagi yang beraqiqah, kalau daging yang dibagikan itu nantinya mentah semua, tetap sah. Cuma yang paling baik kalau dibagikan dalam kondisi matang. Sebagaimana qurban juga lebih baik kalau dagingnya dibagikan dalam kondisi mentah. Justru kalau daging qurban dibagikan semuanya dalam kondisi matang, jadi tidak sah. Harus ada sebagian dari daging qurban itu yang mentahan.
Dan ingat, binatang yang diniatkan qurban harus miliknya sendiri. Pernah insiden lucu saat Kiai Arifin ditanya seorang pejabat via telpon. Ketika itu ia mendapatkan santunan dua ekor kerbau dari sebuah pabrik rokok, “daripada dipotong kok eman, bagaimana kalau panitia meniatkan saja jadi binatang qurban?” Kiai Arifin hanya menjawab, “lha iku kebone sopo kang kok angger mbok niati,” santri menara tertawa mendengar dongeng itu.
Kiai Arifin menjelaskan kalau pabrik rokok tersebut memperlihatkan sumbangan, kemudian diterimakan kepada kita misalnya, itu gres sanggup diniatkan jadi qurban.
Oleh : KH. Arifin Fanani (Pengasuh Ponpes MUS Yanbu’ul Qur'an Kudus)
Comments
Post a Comment