Kerinduan Gus Dur Pada Gus Miek

Gus Miek: Wajah Sebuah Kerinduan

Gus Miek, panggilan bersahabat tokoh semaan Al-Qur’an, Kyai Haji Hamim Jazuli, Sabtu 5 Juni kemudian meninggal di RS. Budi Mulya, Surabaya dalam usia 53 tahun, alasannya yaitu mengidap kanker paru-paru dan ginjal akut. Jenazahnya dimakamkan tanggal 6 Juni di Pemakaman Auliya Tambak, Kecamatan Mojo, Kediri, bersebelahan dengan makam KH. Anis Ibrahim dan KH. Achmad Shidiq. Teman dekatnya, KH. Abdurrahman Wahid -- Ketua PBNU, menuliskan obituari khusus untuk media “Kompas” berikut ini:

TIGA tahun lalu, di beranda sebuah surau di Tambak, Desa Ploso, Kediri, saya berhasil mengejarnya. Mobil yang saya tumpangi menelusuri kota Kediri sebelum melihat kendaraan beroda empat Gus Miek di sebuah gang, tengah meninggalkan daerah itu. Dalam kecepatan tinggi, mobilnya menuju ke arah selatan dan hanya sanggup kami bayangi dari kejauhan. Setelah membelok ke barat dan kemudian ke utara melalui jalan paralel, balasannya kendaraan beroda empat itu berhenti di depan surau tersebut. Gus Miek sudah meninggalkan mobilnya menuju ke surau itu, ketika kendaraan beroda empat tumpangan saya sampai. Ia terkejut melihat kedatangan saya, alasannya yaitu dikiranya saya yaitu adiknya, Gus Huda. Rupanya kendaraan beroda empat tumpangan saya sama warna dan merek dengan kendaraan beroda empat adiknya itu.

Dari beranda itu ia menunjuk sebidang tanah yang gres saja disambungkan ke pekarangan surau dan berkata kepada saya, "Di situ nanti Kiyai Ahmad akan dimakamkan. Demikian juga saya. Dan nantinya sampeyan". Dikatakan, tanah itu sengaja dibelinya untuk daerah penguburan para penghafal Al-Qur’an. Saya katakan kepadanya, bahwa saya bukan penghafal Al-Qur’an. Dijawabnya bahwa bagaimanapun saya harus dikuburkan di situ. Setahun kemudian, ketika KH. Ahmad Shidiq wafat, dia pun dikuburkan di daerah itu atas permintaan Gus Miek. Baru saya sadari bahwa Kiyai Ahmad yang dimaksudkannya setahun sebelum itu yaitu KH. Ahmad Sidiq.

Hal-hal menyerupai inilah yang seringkali dijadikan bukti oleh orang banyak, bahwa KH. Hamim Jazuli alias Gus Miek yaitu seorang dengan kemampuan super natural. Sesuai dengan "tradisi" penyempitan makna istilah, orang awam menyebutnya dengan istilah wali (saint). Kemampuan super natural Kiyai Hamim alias Gus Miek itu, dalam istilahan estakologi orang pesantren, dinamakan sifat khariqul'adah, alias keanehan-keanehan. Dengan bermacam-macam kecacatan yang dimilikinya, Gus Miek kemudian memperoleh status orang keramat. Banyak "kesaktian" ditempelkan pada reputasinya. Mau banyak rezeki, harus memperoleh berkahnya. Ingin naik pangkat, harus didukung olehnya. Mau beribadah haji, harus dimakelarinya. Mau simpel jodoh, minta pasangan kepadanya. Dan demikian seterusnya.

Reputasi sebagai orang keramat ini, dinilai sebagai pendorong mengapa banyak orang berbondong-bondong memadati program keagamaan yang dilangsungkan Gus Miek. Sema'an (bersama-sama mendengarkan bacaan Al-Quran oleh para penghafalnya) yang diselenggarakannya di mana-mana, selalu penuh sesak oleh rakyat banyak. Dari pagi orang bersabar mendengarkan bacaan Al Quran, untuk mengamini doa yang dibacakan Gus Miek seusai menamatkan bacaan Al Alquran secara utuh, biasanya sekitar jam delapan malam. Bersabar mereka menanti sepanjang hari, untuk memperoleh siraman jiwa berupa mau'izah hasanah (petuah yang baik) dari tokoh kharismatik ini. Padahal, sepagian itu ia masih tidur, sesudah begadang semalam suntuk. Itulah program rutinnya, di mana pun ia berada.

Baru belakangan orang menyadari, bahwa Gus Miek menempuh dua teladan kehidupan sekaligus. Kehidupan tradisional orang pesantren, tertuang dalam rutinitas sema'an, dan gebyarnya kehidupan dunia hiburan modern. Gebyar, alasannya yaitu dia selamanya berada di tengah diskotik, night club, coffee shop dan "arena persinggahan perkampungan" orang-orang tuna susila.

Tidak tanggung-tanggung, ia bersahabat dengan seluruh penghuni dan bintang film kehidupan daerah tersebut. Yang ditenggaknya yaitu bir hitam, yang setiap malam ia nikmati berbotol-botol. Rokoknya Wismilak bungkus hitam, yang ramuannya diakui berat.

Kontradiktif? Ternyata tidak, alasannya yaitu di kedua daerah itu ia berperanan sama. Memberikan kesegaran kepada jiwa yang gersang, memperlihatkan cita-cita kepada mereka yang putus asa, menghibur mereka yang bersedih, menyantuni mereka yang putus asa, menghibur mereka yang bersedih, menyantuni mereka yang lemah dan mengajak semua kepada kebaikan. Apakah itu petuah di pengajian seusai sema'an, sewaktu konsultasi pribadi dengan pejabat dan kaum elit lainnya, ataupun ketika meladeni bisikan kepedihan yang disampaikan dengan bunyi lirih ke telinganya oleh wanita-wanita penghibur, esensinya tetap sama. Manusia mempunyai potensi memperbaiki keadaannya sendiri.



DUA tahun yang lalu, Gus Miek menyampaikan kepada saya, bahwa saya harus mundur dari NU. Saya baca hal itu sebagai imbauan, supaya saya teruskan usaha menegakkan demokrasi di negeri kita, tetapi dengan tidak "merugikan" kepentingan organisasi yang ketika ini sedang saya pimpin. Dikatakan, sebaiknya saya mengikuti jejaknya berkiprah secara individual melayani semua lapisan masyarakat. Saya tolak seruan itu dua tahun yang lalu, alasannya yaitu saya beranggapan usaha melalui NU masih tetap efektif.

Baru kini saya sadari, menjelang ketika kepulangan Gus Miek ke haribaan Tuhan, bahwa ia membaca tanda zaman lebih jeli daripada saya. Bahwa dengan "menggendong" beban NU, upaya menegakkan demokrasi tidak menjadi semakin mudah. Karena para pemimpin NU yang lain justru tidak ingin kemapanan yang ada diusik orang. Dari tokoh inilah saya berguru untuk membedakan apa yang menjadi pokok persoalan, dan apa yang sekadar ranting.

Tetapi, Gus Miek juga hanyalah insan biasa. Manusia yang mempunyai kekuatan dan kelemahan, kelebihan dan kekurangan. Keseimbangan hidupnya tidak bertahan usang oleh ketimpangan pendekatan yang diambilnya. Ia menjadi terlalu memperhatikan kepentingan orang-orang besar dan para pemimpin tingkat nasional. Ia juga tidak menjadi imun terhadap kenikmatan hidup dunia gebyar. Untuk beberapa bulan hubungan saya dengan Gus Miek secara batin menjadi sangat terganggu alasannya yaitu hal-hal itu. Saya menolak untuk mendukung jagonya untuk jabatan Wapres, dan ini menciptakan ia tidak lezat perasaan kepada saya.

Mungkin, tidak dipahaminya keinginan saya supaya agama tidak dimanipulasikan dengan politik negara. Tugas pemimpin agama yaitu menjaga keutuhan bangsa dan negara dan berupaya supaya kebenaran sanggup ditegakkan. Sedangkan kebenaran itu akan terjelma melalui kedaulatan rakyat sesungguhnya, kedaulatan hukum, kebebasan dan persamaan perlakuan di muka undang-undang.

Tetapi, sejauh apa pun hubungan batin kami berdua, saya sendiri tetap rindu kepada Gus Miek. Bukan kepada gebyarnya dunia hiburan. Tetapi bahwa bila malam, menjelang pagi, ia tidur beralaskan kertas koran di rumah Pak Syafi'i Ampel di kota Surabaya, atau Pak Hamid di Kediri. Yang dimiliki Pak Hamid hanyalah sebuah bangku plastik jebol dan dua buah gelas serta sebuah teko logam. Itulah dunia Gus Miek yang sebenarnya, yang ditinggalkannya untuk beberapa bulan mungkin hanya sebagai sebuah kelengkapan lakonnya yang panjang. Agar ia tetap masih menjadi manusia, bukan malaikat.

Yang selalu saya kenang yaitu kerinduannya kepada upaya perbaikan dalam diri manusia. Karena itu, ulama idolanya pun yaitu yang membunyikan lonceng cita-cita dan genta kebaikan, bukan hardikan dan kemarahan kepada hal-hal yang buruk. Tiap 40 hari sekali ia mengaji di makam Kiyai Ihsan Jampes, yang terletak di tepi Brantas di dukuh Mutih, pinggiran kota Kediri. Ia gandrung kepada Mbah Mesir yang dimakamkan di Trenggalek, pembawa tarekat Sadziliyah dua ratus tahun yang kemudian ke Jawa Timur. Tarekat itu yaitu tarekatnya orang kecil, dan membimbing rakyat awam yang penuh kehausan rasa kasih dan sapaan yang santun.

Gus Miek inilah yang melalui transendensi keimanannya tidak lagi melihat "kesalahan" keyakinan orang beragama atau berkepercayaan lain. Ayu Wedayanti yang Hindu diperlakukannya sama dengan Neno Warisman yang muslimah, alasannya yaitu ia yakin kebaikan sama berada pada dua orang penyanyi tersebut. Banyak orang Nasrani menjadi pendengar setia wejangan Gus Miek seusai sema'an.

Kerinduannya kepada realisasi potensi kebaikan pada diri insan inilah yang berdasarkan saya menyebabkan Gus Miek super natural. Bukan alasannya yaitu ia menyalahi ketentuan hukum-hukum alam. Super alasannya yaitu dia bisa mengatasi segala macam jurang pemisah dan tembok penyekat antara sesama manusia. Natural, alasannya yaitu yang ia harapkan hanyalah kebaikan bagi manusia. Kalau ia dianggap nyleneh (khariqul'adah), maka dalam artian inilah ia harus dipahami demikian. Bukankah nyleneh orang yang tidak peduli batasan agama, etnis dan profesi dan tidak acuh apa yang dinamakan baik dan jelek di mata kebanyakan manusia, sementara insan saling menghancurkan dan membunuh?


Sumber: gusdurfile.com

Comments

Popular posts from this blog

Viral How To Cook A Brisket In A Roaster Oven Background

Kisah Karomah Kh. Mahrus Ali Dan Kh. Marzuqi Dahlan

Kisah Keistimewaan Membaca Shalawat Nabi