Biografi Imam Hafsh Bin Sulaiman (Bag. 2)

Tersebarnya Riwayat Hafsh

Banyak dibicarakan oleh komunitas Al-Qur’an baik di dunia Arab atau lainnya perihal penyebab tersebarnya riwayat Hafsh di dunia Islam. Sebagian kalangan menyampaikan bahwa pemerintahan Turki Usmani (sekitar 922 H/1516 M) memiliki peranan yang sangat signifikan dalam hal ini, yaitu melalui kekuatan politik kekuasaan. Sebagaimana diketahui bahwa pemerintahan Turki Usmani pada ketika mencetak mushaf, mereka menentukan bacaan riwayat Hafsh. Lalu mereka kembangkan bacaan riwayat ini ke seluruh negeri. Namun pendapat ini dibantah oleh Ghanim Qadduri al-Hamd. Dia menyampaikan bahwa riwayat Hafsh gotong royong telah menyebar di beberapa tempat. Kemudian Ghanim menyebutkan perkataan Abu Hayyan dalam tafsirnya “al-Bahr al-Muhith”: perihal riwayat Warsy dan ‘Ashim :

 وهى (رواية ورش ) الرواية التى تنشأ عنها ببلادنا ( الأندلس ) ونتعلمها فى المكتب . وقال عن قراءة عاصم : وهى القراءة التى ينشأ عليها أهل العراق ( البحر۱ ص ۱۱٥)
“Riwayat Warsy sudah menyebar di negeri Andalus dan diajarkan di maktab-maktab, sedang riwayat ‘Ashim disebarkan di negeri Andalus ini oleh Penduduk Irak.”

Ghanim kemudian merujuk kepada perkataan Muhammad al-Mar’asyi yang hidup pada periode ke 12 H (w. 1150 H) yang disebut juga dengan Savhaqli Zadah: 

والمأخوذ فى ديارنا ( عش مدينة فى جنوب تركيا الآن ) قراءة عاصم برواية حفص عنه 

“Yang dijadikan patokan di negeri kami (Turki) yakni bacaan ‘Ashim riwayat Hafsh.”

Dalam pandangan penulis ada beberapa penyebab perihal menyebarnya riwayat Hafsh. Ada yang berupa faktor alamiah yaitu riwayat tersebut mengalir dan menyebar dengan sendirinya menyerupai mengalirnya air sebagaimana juga tersebarnya madzhab-madzhab fikih, dan ada juga faktor ilmiah yaitu dilihat dari bahan bacaan Hafsh itu sendiri. 

Secara garis besar sanggup penulis rangkum sebagai berikut : 

1.) Jika dilihat dari segi bahan ilmiah, maka riwayat Hafsh yakni riwayat yang relatif gampang dibaca bagi orang yang non-Arab mengingat beberapa hal :

Pertama : tidak banyak bacaan Imalah, kecuali pada kata : (مجرىها ) pada surah Hud. Hal ini berbeda dengan bacaan Syu’bah, Hamzah, al-Kisa’i, Abu ‘Amr dan Warsy yang banyak membaca Imalah. 

Kedua : tidak ada bacaan Shilah Mim Jama’ sebagaimana apa yang kita lihat pada bacaan Qalun dan Warsy. Bacaan Shilah membutuhkan kecermatan bagi pembaca, mengingat bacaan ini tidak ada tanda tertulisnya. 

Ketiga : Dalam membaca Mad Muttashil dan Munfashil, bacaan riwayat Hafsh terutama thariq Syathibiyyah tidak terlalu panjang sebagaimana bacaan Warsy dan Hamzah yang membutuhkan nafas yang panjang. Bahkan dalam thariq Thayyibah, yaitu yang melalui jalur ‘Amr bin ash-Shabbah thariq Zar’an dan al-Fil bacaan Hafsh dalam Mad Munfashil sanggup Qashr (2 harakat). 

Keempat : dalam membaca Hamzah baik yang bertemu dalam satu kalimah atau pada dua kalimah, baik berharakat atau sukun, riwayat Hafsh cenderung membaca tahqiq yaitu membaca dengan tegas (syiddah) dengan tekanan bunyi dan nafas yang kuat, sehingga terkesan kasar. Hal ini berbeda dengan bacaan Nafi’ melalui riwayat Warsy, Qalun. Bacaan Abu ‘Amr melalui riwayat ad-Duri dan as-Susi. Bacaan Ibn Katsir melalui riwayat al-Bazzi dan Qunbul yang banyak merubah bacaan Hamzah menjadi bacaan yang lunak. Contohnya yakni pada Hamzah sakinah atau jikalau ada dua Hamzah bertemu dalam satu kalimah atau dua kalimah. Imam Hafsh memiliki bacaan tashil baina baina hanya pada satu daerah saja yaitu pada kalimat : ءأعجمى  pada surah Fushshilat : 44. 

Kelima : Hafsh memiliki bacaan Isymam hanya pada satu daerah yaitu pada kata : لا تأمنا  sebagaimana juga bacaan imam lainnya selain Abu Ja’far. Keenam: Hafsh memiliki bacaan Mad Shilah Qashirah hanya pada kalimat : ويخلد فيه مهانا pada surah al-Furqan: 69. Hal ini berbeda dengan bacaan Ibn Katsir yang banyak membaca Shilah Ha’ Kinayah. 

2.) Jika dilihat dari awal kemunculan bacaan ‘Ashim yaitu di Kufah atau Iraq, secara politis, negeri Kufah (Iraq) yakni negerinya pengikut Ali (Syi’ah). Bacaan Hafsh juga bermuara kepada sahabat Ali. Kemudian Negeri Baghdad, dimana Hafsh pernah mengajar disini, yakni Ibukota negara (Abbasiyyah) pada masa itu, sentra aktivitas ilmiah, sehingga penyebarannya relatif lebih mudah. Jika kemudian Hafsh bermukim di Mekah kiblat kaum Muslimin yang banyak dihuni mukimin dari banyak sekali penjuru dunia dan mengajar Al-Qur’an di sini, maka sanggup dibayangkan efek bacaannya. 

Penulis juga melihat adanya korelasi yang cukup signifikan antara madzhab fikih dan Qira’at. Sebagai contoh: riwayat Warsy yakni riwayat yang banyak diikuti oleh masyarakat di Afrika Utara. Di sana madzhab fikih yang banyak dianut yakni madzhab Maliki. Masa hidup Imam Malik yakni sama dengan masa hidup Imam Nafi’. Keduanya di Madinah. Bisa jadi pada ketika masyarakat Afrika Utara berkunjung ke Madinah untuk haji atau lainnya, mereka berguru fikih kepada Imam Malik dan berguru Qira’atnya kepada Imam Nafi’. Kita tahu bahwa Hafsh pernah bermukim dan mengajar Al-Qur’an di Mekah. Imam Syafi’i juga hidup di Mekah. Boleh jadi pada ketika hidupnya kedua Imam tersebut kaum Muslimin menentukan madzhab kedua Imam tersebut. Kemudian jikalau kita melihat sanad bacaan riwayat Hafsh pada guru-guru dari Indonesia, semisal sanad Kiai Munawwir Krapyak, akan kita jumpai banyak ulama madzhab Syafi’i pada sanad tersebut, menyerupai Zakariyya al-Anshari dan lain sebagainya. 

3.) Hafsh memiliki jam mengajar yang demikian lama, sebagaimana dikatakan oleh Ibn al-Jazari sehingga murid-muridnya bertebaran di banyak sekali tempat. Hal ini berbeda dengan Syu’bah yang tidak begitu usang mengajar.

4.) Hafsh dianggap sebagai perawi Imam ‘Ashim yang demikian piawai dan menguasai terhadap bacaan gurunya. Sebagaimana diketahui Hafsh yakni murid yang sangat setia pada ‘Ashim. Mengulang bacaan berkali-kali, dan membuatkan bacaan ‘Ashim di beberapa negeri dalam rentang waktu yang demikian lama. Makki al-Qaisi menyebutkan bahwa ‘Ashim memiliki kefashihan membaca yang tinggi, validitas sanadnya juga sangat kuat dan para perawinya juga tsiqah (sangat dipercaya). 



5.) Ghanim Qadduri al-Hamd menyebutkan bahwa mushaf pertama yang dicetak di Hamburg (Jerman) pada tahun 1694 M/1106 H, diharakati dengan bacaan Hafsh yang ada di perpustakaan-perpustakaan di beberapa negeri Islam. Hal ini memiliki banyak efek pada masyarakat, dimana mereka menginginkan adanya mushaf yang sudah dicetak. Para penerbit mushaf di Hamburg sudah tentu melihat terlebih dahulu kecenderungan masyarakat Islam pada ketika itu. Bahkan Blacher, seorang orientalis yang cukup terkemuka dalam bidang studi Al-Qur’an pernah menyampaikan :

  ان الجماعة الاسلامية لن تعترف فى المستقبل الا بقراءة حفص عن عاصم 

“Kaum Muslimin pada masa yang akan tiba tidak akan memakai bacaan Al-Qur’an kecuali dengan riwayat Hafsh dari ‘Ashim.”

Pernyataan Blacher yang niscaya didahului oleh pengamatan yang seksama, terang menggambarkan kecenderungan masyarakat di dunia Islam pada ketika itu dan pada masa yang akan tiba sehingga ia sanggup memastikan hal tersebut. 

6.) Ghanim Qadduri juga menyebutkan dengan melansir dari kitab “Tarikh Al-Qur’an” karya Muhammad Thahir Kurdi, bahwa penulis mushaf yang sangat populer pada masa pemerintahan Turki Usmani, yakni al-Hafizh Usman (w. 1110 H). Penulis ini sepanjang hidupnya telah menulis mushaf dengan tangannya sendiri, sebanyak 25 mushaf. Dari mushaf yang diterbitkan inilah riwayat Hafsh menyebar ke seantero negeri. Penulis melihat bagaimana korelasi antara keahlian menulis mushaf dengan khat yang indah sanggup menjadi unsur yang cukup signifikan dalam penyebaran satu riwayat. Jika kemudian pemerintah Turki Usmani mencetak mushaf sendiri, dan menyebarkannya ke seantero negeri kekuasaannya, maka hal itu akan menambah pesatnya riwayat Hafsh. Dari sini penulis melihat adanya korelasi antara kekuasaan politik dengan penyebaran satu ideologi tertentu. 

7.) Peranan para qari’, guru, imam salat, dan radio, kaset, televisi, juga sangat besar lengan berkuasa terhadap penyebaran riwayat Hafsh. Kita tahu bahwa rekaman bunyi pertama di dunia Islam yakni suaranya Mahmud Khalil al-Hushari atas inisiatif dari Labib Sa’id sebagaimana diceritakannya sendiri pada kitabnya “al-Mushaf al-Murattal atau al-Jam’ash Shauti al-Awwal” rekaman ini dengan riwayat Hafsh thariq asy-Syathibiyyah. Suara yang manis melalui teknologi yang canggih ikut memengaruhi satu bacaan. 

8.) Lebih dari penyebab lahiriah dari penyebaran riwayat Hafsh, kita dilarang melupakan adanya penyebab “maknawiyyah” atau faktor “berkah” atau sanggup kita katakan faktor “x” pada diri Hafsh. Unsur-unsur spiritual menyerupai kesalehan, keikhlasan, ketekunan, pengorbanan Hafsh dalam mengabdi kepada Al-Qur’an ikut menjadi penyebab tersebarnya satu riwayat bahkan madzhab fikih atau lainnya. 


Penutup

Riwayat Hafsh telah menjadi femomena tersendiri dalam penyebaran satu riwayat dalam Qira’at. Riwayat Hafsh akan terus melebar dan menyebar ke seantero dunia, bahkan ke negeri-negeri yang memakai riwayat lain menyerupai Warsy, Qalun, ad-Duri dan lain-lainnya, sesuai dengan aturan kemasyarakatan. 

Dengan semakin menyebarnya riwayat ini, kedudukan Al-Qur’an menjadi semakin kokoh, keorisinilan bacaan Al-Qur’an dan mushaf Al-Qur’an menjadi semakin meyakinkan. Meredupnya riwayat lain bukan berarti meredupnya kemutawatiran satu bacaan. Bacaan-bacaan tersebut masih tetap mutawatir dikarenakan telah diakui oleh para imam-imam Qira’at terdahulu. Nabi sendiri tidak mewajibkan membaca Al-Qur’an dengan seluruh macam bacaan yang pernah diajarkannya kepada para sahabat-sahabatnya. Tapi Nabi hanya menyuruh para sahabatnya untuk membaca bacaan yang gampang baginya. Dengan demikian Al-Qur’an akan tetap terjaga kemurniannya hingga kiamat nanti. Itu menandakan bahwa Al-Qur’an yakni Kalamullah.


Comments

Popular posts from this blog

Viral How To Cook A Brisket In A Roaster Oven Background

Kisah Karomah Kh. Mahrus Ali Dan Kh. Marzuqi Dahlan

Kisah Keistimewaan Membaca Shalawat Nabi