Hati-Hati Mengagumi Dai Atau Kyai Pengagum Duniawi

Interaksi satu sama lain tidak bisa dihindari dalam kehidupan di dunia. Hanya saja dalam konteks perbaikan diri, yang diharapkan yaitu interaksi atau pergaulan dengan mereka yang lebih bisa menahan diri dari segala larangan Allah SWT.

Kita yang masih dalam proses “perbaikan”, “pendidikan”, atau “penggemblengan” diri, dilarang salah bergaul. Kita yang masih dalam “proses” ini perlu mencari orang yang sanggup menahan hawa nafsu atau dorongan dalam dirinya meskipun ia sendiri bukan orang yang menghafal ratusan ayat Al-Qur’an, ribuan hadits Rasulullah SAW, atau mereka yang kerap berkhutbah dan ceramah agama.

Mereka yang sedang berusaha keras dalam mengendalikan nafsu, berupaya berakhlak baik, mencoba pintar menjaga ucapan, dan sedang berguru menahan tangan semoga tidak melukai orang lain atau menulis termasuk men-share semacam broadcast provokatif, ujaran kebencian, serta meresahkan atau video yang tidak bermanfaat bagi orang lain apalagi hoaks, tidak membutuhkan pergaulan dengan orang yang tidak bisa menahan nafsu meskipun ia sudah dianggap ustadz. Hal ini disinggung oleh Syekh Ibnu Atha’illah dalam butir hikmah berikut ini:

ولأن تصحب جاهلاً لا يرضي عن نفسه خير من أن تصحب عالماً يرضي عن نفسه

“Persahabatanmu dengan orang awam yang tidak merestui hawa nafsunya lebih baik dibanding persahabatan dengan pemuka agama (ustadz/kyai) yang merestui nafsunya.”

Mengapa demikian? Sedikit atau banyak, pergaulan sanggup membawa dampak (buruk?) pada perkembangan batin, jiwa, atau huruf seseorang.

Pergaulan dengan orang yang “tepat” sangat dibutuhkan oleh kita yang sedang berproses dalam “mendidik” jiwa kita. Hal ini diterangkan lebih jauh oleh Syekh Syarqawi sebagai berikut:

ولأن( أى والله لأن )تصحب) أيها المريد (جاهلاً) بالعلوم الظاهرية (لا يرضي عن نفسه) بأن يسخط عليها ويعتقد نقصها (خير من أن تصحب عالماً) بذلك (يرضي عن نفسه) لأن صحبة من يرضى عن نفسه وإن كان عالما شر محض لك لأن الصحبة تؤثر فتكتسب منه هذا الوصف الخبيث فصار علمه غير نافع لك في تهذيب نفسك وجهله الذى أوجب رضاءه عن نفسه صار لك غاية الإضرار. وكأنه إن فاته العلم بعيوب نفسه حتى يرضى عنها لا علم عنده.

“Demi Allah, (persahabatanmu) wahai murid (dengan orang awam) terhadap ilmu lahiriyah (yang tidak merestui hawa nafsunya) dalam artian marah atas nafsu dan meyakini ketidaksempurnaannya, (lebih baik dibanding persahabatan dengan pemuka agama) yang mengerti dilema lahiriyah itu (yang merestui nafsunya). Persahabatan dengan orang yang ridha atas nafsunya, sekalipun ia ‘alim, sama sekali tidak maslahat bagimu. Sebab, persahabatan itu membawa dampak sehingga kau berisiko terdampak sifat jelek darinya. Walhasil, ilmu pemuka agama tersebut tidak bermanfaat dalam rangka ‘pendidikan’ bagi batinmu, dan faktor ‘keawaman’ yang membuatnya senang atas hawa nafsu menjadi sangat berbahaya bagimu. Sampai-sampai sanggup dikatakan, dikala seorang pemuka agama (orang ‘alim) itu luput memahami kekurangan nafsunya sehingga ia senang atas nafsunya itu, maka hakikatnya ia tidak berilmu,” (Lihat Syekh Syarqawi, Syarhul Hikam, Semarang, Maktabah Al-Munawwir, tanpa catatan tahun, halaman 32).

Sementara Syekh Zarruq menyampaikan bahwa relasi pergaulan kedua orang itu bisa dalam bentuk guru-murid, persahabatan setara, atau semacam figur yang diikuti. Semua relasi itu sama saja.

Menurutnya, orang yang sanggup menahan hawa nafsu dari dalam dirinya meraih tiga keistimewaan tanpa peduli meski ia seorang yang awam dalam agama atau ia yang kesehariannya tidak berpakaian putih-putih gamis. Keistimewaannya ini yang menjadi ukuran kesempurnaan keimanannya.

قلت: سواء كان شيخا أو قرينا أو تابعا: لأن الذى لا يرضى عن نفسه قد جمع مناقب ثلاثا وإن كان جاهلا، وهي الإنصاف من نفسه والتواضع لعباد الله وطلب الحق بالصدق. وقد قال عمار رضي الله عنه "ثلاث من جمعهن فقد جمع الإيمان: الإنصاف من نفسه وبذل السلام للعالم والإنفاق من الإقتار" انتهى.

“Sama saja, apakah ia sebagai guru, sahabat, atau pengikut. Pasalnya, orang yang tidak merestui hawa nafsunya mempunyai tiga keutamaan meskipun ia awam, yaitu pertama keinsafan (keadilan) atas nafsunya, tawadhu terhadap hamba-hamba Allah, dan membela kebenaran dengan cara yang haq. Sahabat Ammar RA mengatakan, ‘Ketika tiga sifat ini hadir dalam diri seseorang, maka genap-sempurnalah keimanannya; yaitu keinsafan (keadilan) atas nafsunya, penebaran benih perdamaian terhadap alam semesta, dan kedermawanan dalam keadaan sempit,’” (Lihat Syekh Zarruq, Syarhul Hikam, As-Syirkatul Qaumiyyah, 2010 M/1431 H, halaman 48).



Hikmah Syekh Ibnu Atha’illah ini jangan dipahami sempit sebagai proposal untuk membenci atau menjauhi ustadz atau para kiai. Poin utamanya bukan pada soal kadar keilmuan. Poin utamanya terletak pada kebutuhan kita yang masih dalam “proses” perbaikan diri untuk lebih selektif menentukan sahabat, figur, atau “guru”.

Jangan hingga kita berinteraksi secara intensif dengan mereka, apapun statusnya, yang masih belum bisa mengendalikan hawa nafsunya alasannya yaitu tidak baik untuk jiwa kita yang sedang dalam perkembangan, pertumbuhan, pendidikan, dan penggemblengan.

Bagi Syekh Ibnu Atha’illah, sahabat, figur, ustadz, atau guru yang baik bagi kita itu bukan sekadar mereka yang berpakaian Islami atau penuh berhamburan ayat-ayat Al-Qura’n dan hadits dari mulutnya. Sahabat, figur, ustadz, atau guru yang baik bagi kita itu yaitu mereka yang bisa menahan segala dorongan-dorongan nafsu dalam dirinya sehingga sikap serta ucapannya tetap bijak dan penuh pertimbangan yang bisa kita jadikan panutan, pedoman, dan ikutan. Mereka yaitu orang yang pernyataan, ucapan, sikap, perilaku, dan kebijakannya tidak dilandasi dorongan nafsu, tetapi berlatar pertimbangan matang.

Hikmah ini menganjurkan kita untuk berinteraksi secara intensif dengan mereka yang sanggup menahan diri dari sifat dan sikap tercela sebagai jalan yang paling kondusif bagi perkembangan batin kita. Pasalnya, batin kita yang dalam “proses” masih rawan dan rentan pengaruh. Tetapi syukur alhamdulillah dan berbahagialah kita yang tengah berjalan ini menemukan sahabat, ustadz, atau guru yang perilakunya terpuji sehingga sanggup menjadi contoh atau model bagi kita yang berproses dalam menahan diri.

Sebaiknya kita selalu berdoa semoga tetap dalam bimbingan Allah. Kita juga sebaiknya berdoa kepada-Nya semoga diberikan sahabat, ustadz, dan figur yang memperlihatkan maslahat bagi perkembangan kepribadian kita. Amiiin.

Wallahu A‘lam

Sumber: Situs PBNU

Comments

Popular posts from this blog

Viral How To Cook A Brisket In A Roaster Oven Background

Kisah Karomah Kh. Mahrus Ali Dan Kh. Marzuqi Dahlan

Kisah Keistimewaan Membaca Shalawat Nabi