Kisah Pegulat Menjadi Wali Berkat Cinta Pada Keturunan Nabi

Bagi kalangan umat Muslim yang erat dengan dunia tasawuf, tentu nama Syekh Abul Qasim Junaid al-Baghdadi sudah tak lagi asing di indera pendengaran mereka. Bagaimana tidak, ia begitu populer akan kewaliannya. Sampai-sampai, setiap kali membaca hadrah (pembacaan Surat Al Fatihah sebelum melaksanakan amalan mujahadah) para salik—sebutan bagi orang yang telah menempuh jaan tarekat—selalu mengkhususkan penyebutan nama Abul Qasim Junaid Al-Baghdadi sempurna sesudah penyebutan nama Suthanul Auliya' Syekh Abdul Qodir Al Jilani, sang raja wali.

Lantas, bagaimanakah sejarah kewaliannya hingga ia begitu masyhur, populer sebagai kekasih Allah?

Ternyata, ia bekerjsama merupakan seorang pegulat tangguh tak terkalahkan pada masanya. Ia juga sangat ditakuti oleh para lawannya. Hingga suatu ketika, sang raja pada masa itu mengadakan sayembara bahwa siapa saja yang sanggup mengalahkan Abul Qasim akan mendapat hadiah yang begitu banyak.

Sayembara tersebut karenanya terdengar juga oleh seorang lelaki paruh baya di salah satu sudut Kota Baghdad. Ia yaitu seorang keturunan Rasulullah Muhammad sallallahu 'alaihi wasalam yang hidupnya begitu memprihatinkan. Sudah beberapa hari terakhir, keluarganya tak makan. Usianya juga sudah cukup tua, kira-kira 65 tahun. Namun, hal itu tak menciutkan nyalinya untuk mengikuti sayembara melawan Abul Qasim. Karena ia mempunyai cara tersendiri.

Hari pertarungan telah tiba. Hingga ketika itu, anehnya tidak ada seorang pun yang berani mendaftar melawan Abul Qasim. Maklum, seluruh penduduk kota sudah mengerti kehebatan Abul Qasim dalam bergulat. Mereka lebih menentukan nyawa mereka daripada harus mati konyol demi memimpikan hadiah sayembara dari raja. Berbeda dengan lelaki dzurriyah Rasul itu, ia tak gentar sama sekali. Demi keluarga yang sudah beberapa hari tak makan, ia rela mengorbankan nyawanya.

Saat ia mulai beradu pandang dengan Abul Qasim, ketika melaksanakan penghormatan salam sebelum bertarung ia berbisik kepada Abul Qasim:

"Wahai Abul Qasim, saya tahu bahwa engkau yaitu pegulat terhebat di kota ini. dan saya pun yakin bahwa saya tak akan bisa mengalahkanmu. Namun, tahukah engkau mengapa saya berani bertarung denganmu. Aku yaitu cucu Rasulullah, namun keluargaku sedang tertimpa kesusahan. Sudah beberapa hari terakhir saya dan keluargaku tak bisa makan. Maka dari itu, saya memohon kepadamu supaya engkau bersedia berlagak kalah hingga karenanya hadiah sayembara itu saya dapatkan dan keluargaku sanggup makan.” 

Mendengar hal itu, Abul Qasim begitu prihatin. Ternyata ada juga keturunan Rasulullah yang menyerupai itu. Akhirnya, dengan niatan memuliakan anak-cucu Rasulullah, ia turuti permohonan lelaki renta itu. Dan benar, lelaki renta tersebut sukses memenangkan sayembara dan kemudian membawa pulang hadiahnya untuk keluarga. 

Sedang Abul Qasim harus menanggung aib bahwa pegulat terhebat di kota itu telah dikalahkan hanya dengan pukulan lelaki renta usia 65 tahun. Tapi hal itu tak menciptakan hati Abul Qasim kecewa sedikit pun. Ia justru bersyukur sudah sanggup membantu keturunan Nabi. Meskipun orang-orang sekota menghujatnya alasannya yaitu memang tidak tahu dan Abul Qasim pun merasa hal ini tidak perlu diberitahukan.



Hingga suatu malam yang indah, Abul Qasim  bermimpi ditemui oleh seorang lelaki yang ketampanannya tak sanggup tergambarkan oleh kata-kata. Ia begitu penuh dengan cahaya. Namun, keteduhan wajahnya dan kewibawaannya tak menciptakan mata silau melihat pancaran cahaya dari dalam insan terbaik sepanjang masa. Ya, ternyata ia yaitu Rasulullah Muhammad shallallahu 'alaih wasallam.

Dalam mimpinya itu, sang Rasul berkata pada Abul Qasim bahwa mulai malam itu ia diangkat oleh Allah derajatnya menjadi waliyullah, kekasih Allah. Bukan alasannya yaitu kekuatannya, melainkan alasannya yaitu ia telah rela menolong dzurriyah Rasul, anak-cucu keturunan sang utusan terkasih Allah, Muhammad sallallahu 'alaihi wasalam.

Subhanallah, lewat cerita tersebut dipetik hikmah bahwa memuliakan keturunan Rasulullah saja sanggup mengangkat derajat insan yang awalnya hanyalah seorang pegulat menjadi wali Allah yang populer seantero jagat. Tak ada salahnya kalau kita mau untuk sekadar membaca shalawat di bulan Rabiul Awal ini dalam rangka memuliakan kelahiran Rasulullah. Tentu, andaikata hal itu ditampakkan, betapa keuntungannya tak sanggup terkias oleh kata. 

Kisah ini juga memperlihatkan pesan bahwa menolong orang yang terdesak oleh kebutuhan merupakan sebuah kemuliaan. Imam Junaid al-Baghdadi memberi pola wacana pentingnya memprioritaskan kepentingan orang lain daripada diri sendiri. Ia tulus mengorbankan gengsi dan popularitas prestasinya demi membantu orang lain memenuhi kebutuhan dasarnya. 

Wallahu A’lam

Tulisan ini disarikan dari cerita yang dituturkan oleh Mursyid Thariqah Naqsyabandiyyah Qadiriyyah KH. Misbachul Munir Al-Mubarok yang juga pengasuh Pesantren Al-Hidayat Krasak, Temuroso, Guntur, Demak, Jawa Tengah.

Sumber: Situs PBNU

Comments

Popular posts from this blog

Viral How To Cook A Brisket In A Roaster Oven Background

Kisah Karomah Kh. Mahrus Ali Dan Kh. Marzuqi Dahlan

Kisah Keistimewaan Membaca Shalawat Nabi