Kisah Seorang Wali Allah Bertemu Nabi Ilyas
Berkata Abul Hasan bin Al-Munadi: Bercerita kepada kami Ahmad bin Mulaib, dari Yahya bin Said, dari Abu Ja’far Al-Kufi, dari Abu Umar An-Nasibiy, dia berkata: “Aku pergi mencari Maslamah bin Masqalah di kota Syam. Maslamah bin Masqalah dikenal banyak orang termasuk wali Allah. Setelah berusaha mencarinya, saya menjumpainya di salah satu lembah di Jordan (Yordania).
Beliau berkata kepadaku: “Maukah engkau kuceritakan perihal apa yang kulihat tadi di lembah bukit ini?”. Aku menjawab: “Tentu saya ingin mendengarnya”. Beliau berkata: “Ketika saya tiba tadi ke lembah ini, saya melihat seorang syekh yang sedang mengerjakan sholat di bawah pohon itu. Besar kemungkinan lelaki itu yaitu Nabi Ilyas. Aku berjalan mendekatinya kemudian saya mengucap salam kepadanya sekalipun dia sedang mengerjakan sholat. Aku melihat dia ruku’, kemudian I’tidal, dan kemudian sujud. Selesai sholat dia memandang ke arah suaraku, kemudian menjawab salamku sesudah dia melihat saya bangun di situ. Aku tanya dia: “Siapakah engkau wahai orang yang dirahmati Allah”. Dia menjawab : “Aku yaitu Nabi Ilyas”.
Aku begitu merinding mendengar tanggapan itu. Dia tiba mendekati aku. Dia letakkan tangannya di dadaku hingga saya mencicipi kesegaran tangannya.
Aku berkata kepadanya: “Wahai nabi Allah, doakanlah saya supaya Allah menghilangkan penyakitku ini”. Kemudian dia pun berdoa dengan memakai nama Allah, lima di antaranya dalam bahasa Arab dan tiga lagi dalam bahasa Suryani (Suriah). Beliau membaca: “Ya Wahid, Ya Ahad, Ya Shomad, Ya Fardun, Ya Witrun. Beliau menyebut tiga untaian doa lagi yang saya sendiri tidak tahu maknanya. Kemudian dia menarik tanganku sambil mendudukkan aku. Ketika itu rasanya penyakitku sudah hilang/sembuh.
Aku bertanya kepadanya: “Wahai nabi Allah, bagaimana pendapatmu perihal orang ini (aku sebutkan Mirwan bin Muhammad)”, yang saat itu menahan beberapa orang ulama. Beliau berkata: “Apa hubungannya dengan kamu?”. Aku menjawab: “Wahai nabi Allah, kalau saya berjumpa dengannya dia berpaling. Dia tidak bicara sepatah kata pun”.
Aku bertanya lagi: “Wahai nabi Allah, apakah kini ini masih ada di dunia ini Al-Abdal (wali-wali Allah)?”. Beliau menjawab: “Ada, mereka semua jumlahnya ada 60 orang. 50 orang di tempat Mesir hingga pantai Furat, 3 orang di Masisah (dekat Armenia), 1 orang di Antokiah (Turki) dan yang lainnya ada di penjuru bumi lainnya”.
Aku bertanya lagi: “Wahai nabi Allah, apakah tuan pernah berjumpa dengan nabi Khidir?”. Beliau menjawab: “Ya, setiap isu terkini haji kami berjumpa di Mina”. Aku bertanya: “Apa yang tuan lakukan bila berjumpa?”. Beliau menjawab: “Aku mengambil rambutnya dan dia pun mengambil rambutku”.
Aku berkata kepadanya: “Wahai nabi Allah, bantu-membantu saya ini yaitu orang yang hidup sebatang kara, tidak memiliki istri dan anak. Kalau tuan berkenan biarlah saya ikut bersama tuan ke mana saja tuan pergi”. Beliau menjawab: “Engkau tidak akan mampu berteman denganku”.
Ketika bercerita dengan dia tiba-tiba saya melihat satu hidangan masakan keluar dari akar pohon itu kemudian diletakkan di hadapan beliau. Sementara orang yang mengangkatnya tidak kelihatan. Dalam hidangan itu ada tiga jenis roti. Beliau sudah mengulurkan tangannya untuk mengambil masakan itu. Tetapi tiba-tiba dia tidak jadi memakannya kemudian dia mengajakku supaya sama-sama makan.
Aku duduk di samping beliau, kemudian dia berkata kepadaku: “Mulailah dengan membaca Basmalah, dan ambillah dari yang terdekat darimu”. Kami pun memakannya bersama-sama. Selepas makan saya melihat terperinci nampan itu diangkat lagi tetapi tidak kelihatan orang yang mengangkatnya. Kemudian didatangkan lagi kepada dia minuman tetapi tidak kelihatan orang yang membawanya. Beliau membagi dua minuman itu, separo untuk dia dan separo lagi dia serahkan kepadaku. Aku coba minuman itu, oh rasanya cukup lezat. Minuman itu lebih putih daripada susu dan lebih elok daripada madu. Selesai minum saya letakkan tempatnya. Tiba-tiba saya melihat terangkat lagi tetapi tidak tahu siapa yang mengangkatnya.
Kemudian dia memandang ke bawah (tempat yang lebih rendah lagi), rupanya di situ sudah ada hewan menunggu yang lengkap dengan tempat duduknya. Binatang itu lebih besar dari keledai dan tidak sebesar baghal. Beliau berjalan ke arah tunggangan itu. Aku kejar dia dan saya minta supaya ikut bersamanya. Tetapi dia berkata: “Bukankah sudah saya katakan bahwa engkau tidak mampu mengikuti perjalananku?”. Aku merasa kecewa dan hanya bisa berkata: “Kalau begitu bagaimana caranya supaya saya bisa berjumpa lagi dengan tuan?”. Beliau menjawab: “Kalau benar-benar ingin berjumpa denganku, kita akan berjumpa lagi nanti”. Tambah dia lagi: “Semoga engkau bisa menjumpaiku lagi nanti pada bulan Ramadhan di Baitul Maqdis dalam keadaan i’tikaf”. Beliau pergi dari bawah pohon itu dan saya ikuti dari belakang tetapi tiba-tiba dia menghilang”.
Wallahu A’lam
Oleh : Syaikh Ibnu Hajar Al-Asqalani
Comments
Post a Comment