Umar Bin Abdul Aziz, Raja Yang Adil Dan Sangat Sederhana
Masjid Jami’ Al-Umawi, Damaskus tahun 99 H. Masyarakat berkumpul menjelang pembaiatan khalifah gres mereka. Ketika diketahui bahwa nama yang harus dibaiat ialah Umar bin Abdul Aziz, Umar tidak tahan. Dia yang ada di shaf pertama terduduk lemas. Hancur hatinya dan gemetar badannya. Para ulama mencoba membantunya bangkit di mimbar untuk pidato kekhilafahan perdana.
Dia mencoba bicara. Tapi tidak bisa. Menangis dan menangis. Ketakutan menguasai hatinya. Akhirnya, suaranya keluar, “Aku kembalikan baiat kalian kepada kalian. Aku tidak minat dengan kekhilafahan ini.”
Semua orang ikut menangis dan menyeru, “Kami tidak ingin pemimpin kecuali engkau.”
Umar pun mengungkapkan isi gemuruh hatinya. Tentang kematian. Tentang pertemuan dengan Allah. Tentang kehancuran para pemimpin sebelumnya. Semua yang di masjid semakin menangis.
Roja’ bin Haiwah berkata: "Demi Allah, saya melihat dinding-dinding masjid ketika kami menangis, apakah dinding-dinding ini ikut menangis bersama kami."
Setelah selesai memberi sambutan penobatan sebagai khalifah. Khalifah gres ini keluar dari masjid. Kendaraan glamor kekhilafahan pun telah disiapkan di pintu gerbang masjid, menyerupai yang biasa mereka lakukan kepada para pemimpin mereka sebelumnya.
“Tidak, saya hanya bab dari muslimin. Hanya bedanya saya ini yang paling banyak beban dan tanggung jawabnya. Hadirkan bighal (sejenis keledai) milikku,” kata Umar bin Abdul Aziz.
Umar pun pulang dan mampir di istananya, kantor barunya. Dia sedekahkan perkakas-perkakas miliknya kepada orang-orang fakir.
Ia kemudian menemui istrinya dan berkata: “Wahai Fatimah, saya sekarang diserahi urusan umat Muhammad shallallahu alaihi wasallam. Dan kau tahu luasnya wilayah ini dari Sind di timur hingga Ribath di barat. Dari Turkistan di utara hingga Afrika di selatan. Jika kau menginginkan Allah dan kehidupan akhirat, maka serahkan komplemen dan emasmu ke Baitul Mal. Jika kau menginginkan kehidupan dunia, maka sini saya beri kesenangan yang baik tapi sesudah ini pulanglah ke rumah ayahmu.”
Istrinya menjawab: “Tidak demi Allah, hidup ini hidup bersamamu. Kematian ini mati bersamamu.”
Dia pun menyerahkan semua komplemen dan emasnya.
Hari beranjak siang. Dia sudah sangat lelah mengurusi urusan rakyatnya. Maka, beliau hendak qailulah (tidur siang). Anaknya yang sholeh dan masih berusia sangat muda Abdul Malik bin Umar menegurnya, “Wahai ayah, apakah ayah hendak tidur sementara ayah sudah diserahi urusan umat Muhammad shallallahu alaihi wasallam. Di antara mereka ada yang fakir, lapar, miskin, dan janda. Mereka semua akan menuntutmu pada hari kiamat.” Umar bin Abdul Aziz kembali menangis.
Wallahu A’lam
Comments
Post a Comment